Kebijakan Holdingisasi BUMN di Indonesia PP. No 72 Tahun 2016. Menuju BUMN yang Kuat dan Efisien

Kolom, Lipsus1,018 views

 

Oleh :Oskar Vitriano

Kebijakan ini menjadi berita hangat ketika ada sebagian pihak yang digawangi mantan ketua Mahkamah Konstitusi mendaftarkan gugatan PP. No 72 Tahun 2016 tentang Holding BUMN ke Mahkamah Agung beberapa waktu lalu dengan alasan melanggar Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pada poin pemisahan asset yang masih menjadi control pemerintah. Di lain sisi mengingat Kinerja BUMN sangat mempengaruhi kinerja Negara dalam APBN kemudian kebijakan ini menjadi penting untuk di jalankan.

Dalam keilmuan manajemen stratejik, perusahaan dapat tumbuh besar dengan memanfaatkan penelitian dan pengembangan dari dalam internal atau melakukan penggabungan dengan entitas organisasi lain. Melakukan penggabungan dengan entitas bisnis lain biasa dikatakan merjer dan akuisisi. Konsep holdingisasi BUMN yang tertera pada PP No. 72 Tahun 2016 sebenarnya tidak lepas dari konsep Merger dan akuisisi. Secara istilah merger berarti adalah penggabungan dua entitas atau lebih. Dalam konsepnya merjer dapat menghilangkan dua perusahaan itu menjadi satu ataupun tetap menjadi dua dengan satu kepemilikan. Berbeda dengan akuisisi yang merupakan pengambilalihan satu atau lebih entitas untuk bergabung dibawah perusahaan induk. Dalam gambar 1 dapat di lihat perbedaan dari konsep-konsep merjer dan akuisisi.

Gambar 1

Bentuk-bentuk Merjer dan akusisi

Gambar 1 diatas menunjukkan bahwa merjer bisa terjadi dalam beberapa skema-skema. Skema pertama PT A dan PT B bergabung kemudian melebur menjadi PT AB. Pada skema kedua, meskipun telah bergabung, PT A dan PT B tetap menjadi entitas masing-masing yang setara akan tetapi mempunyai strategi yang sama. Terakhir adalah skema yang kita kenal degan akuisisi atau pengambilalihan dimana PT A mengambil alih PT B yang kemudian dijadikan anak perusahaan dan memiliki strategi yang diatur oleh “holding company” atau perusahaan induk. Biasanya kedua perusahaan bergerak pada produk dan jenis yang berbeda. Output dari perusahaan A berbeda dengan output perusahaan B akan tetapi masih saling berhubungan.

Dalam teori manajemen stratejik, ada beberapa keuntungan melakukan merjer dan akuisisi. Pertama pada kondisi merjer perusahaan horizontal atau perusahaan dengan produk yang sama, strategi ini dapat menguatkan posisi pasar kedua perusahaan. Semakin besar skala kedua perusahaan yang melakukan merjer dan akuisisi maka semakin kuatlah perusahaan baru tersebut menghadapi persaingan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan kapasitas produksi  perusahaan yang melakukan merjer dan akuisisi kemudian juga menghasilkan produksi skala ekonomis, sehingga memproduksi pada skala biaya terendah. Keuntungan yang sama tentu dapat juga dicapai pada perusahaan yang bergabung dan masih dalam satu rantai bisnis, misal: perusahaan yang memproduksi kertas dengan perusahaan percetakan.

Alih-alih menyelesaikan permasalahan solusi yang ditawarkan oleh pemerintahan di masa lalu berupa restrukturisasi BUMN maupun bentuk privatisasi BUMN tidak menjawab persoalan BUMN di era masa kini. Tercatat pada 144 BUMN yang berdiri saat ini, ada sekitar tiga  yang merugi sehingga biaya operasionalnya sudah tidak mampu dibayarkan kecuali dengan bantuan pemerintah seperti misalnya: PT Merpati Nusantara. Beberapa BUMN seperti hidup segan mati tak mau. Untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas tidak memiliki dana investasi sedangkan untuk dilikuidasi masih dibutuhkan. Sebagian BUMN masih rugi karena banyaknya penugasan pemerintah kepada BUMN tersebut, sehingga secara skala efisien tidak tercapai. Kemudian di tangga kriteria terakhir adalah BUMN sehat, mendatangkan profit untuk pemerintah. Padahal berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, bahwa esensi dari penggunaan asset yang dipisahkan dari keuangan Negara dan di masukkan sebagai modal BUMN sejatinya memang digunakan untuk mendapatkan profit.

Ide holdingisasi memang sudah dimulai pada jaman menteri BUMN Tantri Abeng. Mengingat banyak sekali BUMN sejenis yang bersaing di pasar yang sama dan sama-sama di miliki persaingan. Persaingan VS Kolaborasi adalah dua mata uang yang harus digunakan untuk peningkatan ekonomi. Kadang persaingan itu penting dalam konteks menghasilkan produk murah dan efisien di masyarakat, di lain sisi kolaborasi juga penting untuk meningkatkan kekuatan pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kolaborasi perusahaan pada rantai bisnis juga bisa membuat terjadi efisiensi usaha mengingat pemilik dari rantai bisnis tersebut adalah satu perusahaan holding yang besar. Akan tetapi memang yang perlu diperhatikan pada kolaborasi adalah praktek monopolo, menaikkan harga dan mengurangi jumlah produksi seperti yang terjadi pada kasus-kasus monopoli lainnya. Harusnya kekurangan kolaborasi seperti praktek monopoli ini tidak akan terjadi pada BUMN mengingat kontrol BUMN adalah pada pemerintah yang masih memegang mayoritas saham BUMN. Sehingga sudah tepat strategi BUMN lebih cocok menggunakan kolaborasi.

Dalam dokumen kebijakan yang dibuat oleh kementerian BUMN didapatkan sebuah roadmap holdingisasi BUMN kedepad yang akan dijelaskan melalui gambar 2 berikut:

Gambar 2

Roadmap Holdingisasi BUMN

Dalam gambar ini dijelaskan bahwa pada kondisi awal semua BUMN menginduk pada kementerian BUMN sehingga secara langsung Kementerian BUMN bertanggung jawab mengawasi dan membina seluruh BUMN yang jumlahnya kurang lebih 144 BUMN. Dirasakan ternyata konsep ini kurang optimal karena kementrian BUMN dengan waktu dan jumlah pegawai yang terbatas tidak bias mengawasi dan membina BUMN secara terus menerus. Dalam konsep kedua maka kementerian BUMN dapat membangun holding-holding pada perusahaan sejenis yang biasa kita sebut dengan sectoral holding. Ahli manajemen strategis memang mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan pada industry yang sama umumnya memiliki kondisi yang sama, dengan set strategi yang sama. Dengan alas an itu maka Kementerian BUMN membangun holding pada sector-sektor seperti: Perkebunan, Semen, Pupuk, Konstruksi, Farmasi, ke depan akan lebih banyak lagi. Pada skema terakhir, semua sektoral holding dan BUMN yang sama sekali tidak memilik holding akan dibawahi oleh super holding yang tentu saja untuk memperbesar skala perusahaan.

Kebijakan holdingisasi ini bukanlah sesuatu yang baru diterapkan di Negara-negara lain. Singapura mempunyai satu holding besar BUMN yang kita kenal dengan TEMASEK, ataupun Malaysia dengan KHAZANAH NASIONAL-nya. Kedua Negara tersebut memiliki BUMN besar yang merupakan gabungan dari beberapa BUMN kecil. Perkembangan kedua BUMN ini terbilang sangat sukses, apabila kita ingat tahun 1950-an BUMN Malaysia khususnya Petronas sempat belajar berbisnis ke Pertamina akan tetapi sekarang justru mereka lebih maju khususnya dalam membangun kilang minyak di luar negeri. BUMN Asia Tenggara yang belajar dari Indonesia kini sudah lepas landas jauh meninggalkan Indonesia dalam berbisnis di era global.

Sehingga kebijakan holdingisasi BUMN di Indonesia dalam konteks strategi sejatinya adalah untuk mempersiapkan para BUMN untuk bersaing di era globalisasi pada pasar dunia. Semenjak Indonesia merdeka tahun 1945 nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan oleh pendiri bangsa kita menanamkan agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan sendiri dari sisi produksi barang dan jasa. Sampai dengan 72 tahun Indonesia hal itu kemudian diwujudkan oleh para BUMN ini misalnya: PLN yang menyalurkan listrik ke seluruh Indonesia, atau pun pertamina yang memastikan pasokan energi ke seluruh wilayah Indonesia. Ketika jaman sudah memasuki era informasi dan teknologi, peran BUMN menjadi diperluas yaitu mendatangkan profit bagi keuangan Negara sekaligus memperluas pasar luar negeri. Potensi peningkatan keuangan Negara dari pajak sudah dicoba dilakukan melalui tax amnesti, meski ada pemasukkan hanya saja belum cukup untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur besar di Indonesia. Strategi kedua adalah untuk meningkatkan pemasukkan uang dari BUMN, syaratnya adalah BUMN tersebut harus mengasilkan profit yang tinggi.

Ketika pasar di dalam negeri sudah jenuh, teori bisnis internasional mensyaratkan perusahaan untuk memperluas cakupan pasar ke luar negeri bahkan langsung ke global market. Ada beberapa prasyarat yang disebutkan dalam buku-buku teori internasional bisnis bagi perusahaan yang ingin mencoba go-internasional. Yang pertama adalah perusahaan tersebut harus kuat dan menguasai pasar domestik. Penguasaan pasar domestik ini penting andai saja pasar internasional belum memberi kesuksesan bagi perusahaan. Untuk menguasai pasar dalam negeri, BUMN sejenis di Indonesia masih ada persaingan. Ada banyak BUMN semen misalnya Semen Gresik, Semen Tonasa, Semen Padang tadinya memproduksi semen untuk masing-masing wilayah nusantara. Sehingga lebih sibuk mengurusi distribusi meskipun kurang menguntungkan dan mencari pasar dalam negeri dengan bersaing antar perusahaan. Setelah mereka bergabung dalam holding SEMEN INDONESIA maka dapat kita lihat perusahaan BUMN yang telah menguasai pasar dalam negeri mulai berorientasi ekspor. Ribuan ton semen di ekspor ke Tiongkok sebagai fondasi pembangunan infrastruktur disana. Cerita sukses BUMN holding Semen Indonesia dalam menembus pasar Negara lain bias menjadi contoh pentingnya menerapkan kebijakan holding. Semen Indonesia bertransformasi menjadi BUMN singa yang siap menghadapi singa-singa pesaing dari Negara lain. Ibaratkan pasar Internasional adalah hutan belantara, maka bila ingin memasuki hutan belantara BUMN harus mempersiapkan diri menjadi seekor singa yang menjadi raja hutan bukan hadir sebagai rusa pemain medioker yang setiap saat dapat di mangsa oleh predator.

Analogi “menjadi singa” dalam istilah bisnis berarti perusahaan itu harus: Pertama Kuat secara modal. Modal yang besar dibutuhkan untuk penetrasi pasar, membangun citra, melakukan promosi maupun mengakuisisi perusahaan luar negeri. Lihatlah berapa besar modal yang disediakan BUMN Tiongkok dalam penetrasi ke pasaran Amerika dan Eropa. Cara memperbesar modal, lagi-lagi adalah dengan cara memperbesar perusahaan yang sejatinya dapat dilakukan melalui konsep Merger dan akuisisi. Sehingga kesiapan BUMN Indonesia untuk melakukan penetrasi pasar dunia adalah dengan melakukan holding sehingga ada kemungkinan BUMN tersebut mempunyai modal yang besar.

Kedua menguasai pasar dalam negeri dan jalur distribusi dari hulu ke hilir. Persaingan BUMN pada industri yang sama melahirkan satu BUMN memiliki kelebihan dari BUMN yang lain. PT. Perkebunan Nusantara misalnya yang terdiri dari 12 wilayah yang mempunyai perusahaan masing-masing, setelah diteliti lebih dalam ternyata satu PTPN unggul dalam cara cocok tanam, sementara PTPN yang lain unggul dalam distribusi hasil pangan. Untuk menghadapi persaingan global dengan produk perkebunan dari Negara Thailand dan Vietnam misalnya, maka sudah tepat pemerintah menggabungkan PTPN untuk mengambil setiap keunggulan yang dimiliki dan kemudian di aplikasikan ke semua perusahaan yang tergabung dalam holding.

Akhirnya holdingisasi BUMN sektoral dan persiapan pembuatan superholding BUMN akan memfokuskan BUMN Indonesia tdak lagi memikirkan persaingan dengan BUMN dalam negeri akan tetapi lebih terfokus pada bagaimana meningkatkan potensi pasar dalam negeri sambil mencoba untuk melakukan kegiatan bisnis internasional. Indonesia adalah pasar yang sangat besar, 250 juta penduduk yang mendiami ribuan pulau dan luas tanah yang masih belum tergarap sempurna. Perusahaan-perusahaan asing masih menganggap bahwa Indonesia adalah potensi besar yang belum tergarap dan masih dapat bertumbuh sampai menggapai peringkat GDP 10 besar dunia. Sekarang apakah garapan ini akan diambil oleh pihak asing melalui perdagangan bebas, atau dimanfaatkan sendiri oleh BUMN lokal sebagai wilayah pengembangan pasar. BUMN dapat menggapai ini semua apabila holdingisasi berjalan dengan baik dan efektif menjawab perkembangan pasar.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *